Para Pengikut Gerakan Massa: Menimbang Gagasan Eric Hoffer

Peserta Aksi Bela Islam 313 - Dok. Wikipedia IndonesiaPeserta Aksi Bela Islam 313 - Dok. Wikipedia IndonesiaEverything flows and nothing stays”, ujar Heraclitus, filosof Yunani Abad ke-5 SM (Microsoft 2005). Begitulah kira-kira hukum yang berlaku secara universal di dunia ini. Perubahan adalah keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Perubahan sama pastinya dengan kematian. Segala aspek kehidupan manusia tidak pernah bisa mengelak dari hukum perubahan ini.

Sebagian besar perubahan berjalan secara alamiah atau terlihat alamiah, sementara perubahan lain harus dipaksakan agar dapat terwujud menjadi kenyataan. Hal ini karena suatu perubahan selalu bersifat sistemik, berimplikasi pada perubahan lain (Macionis 2008, 633), sehingga sebuah gerak berubah tak jarang menghendaki adanya perubahan tidak saja pada aspek-aspek kultural tapi juga struktural. Oleh sebab itu, bagi mereka yang tengah menikmati kemapanan—baik secara politik, ekonomi maupun kultural—perubahan adalah juga berarti ancaman bagi kekuasaan mereka. Sementara bagi kelompok/kelas yang tak ikut menikmati kemapanan, perubahan adalah jalan untuk mengubah nasib. Bagi kelompok ini, harapan untuk mengubah nasib dan keadaan adalah daya hidup yang mampu menggerakkan mereka untuk ikut serta dalam gerakan-gerakan sosial.

Harus ada problem sosial, politik, ekonomi atau lainnya yang cukup untuk membuat orang merasa sangat kecewa, marah dan frustasi sehingga perlu memutuskan bergabung dengan sebuah gerakan sosial. Ketidakpuasan ini pada gilirannya akan menjadi kekecewaan kolektif yang merupakan cikal bakal sebuah gerakan sosial. Kekecewaan ini muncul akibat adanya relative deprivation yang dipicu ketikdaksesuaian antara kondisi yang mereka alami dengan situasi ideal yang mereka harapkan (Barkan 2016, loc. 20925).

Dalam konteks inilah, buku The True Believer karya Eric Hoffer, sang filsuf pelabuhan, menjadi penting untuk dikaji. Hoffer menjelaskan secara impresif bagaimana dan siapa saja orang-orang yang berpotensi bergabung dalam gerakan massa. Ia, dengan sangat meyakinkan, menulis bahwa para pengikut sejati gerakan massa akan dengan penuh kerelaan mengorbankan diri demi mencapai harapan yang berapi-api tentang masa depan. Mereka yang berpotensi bergabung dengan gerakan massa, terutama bukan kelompok yang memang sejak awal merasa memiliki hidup penuh makna, tapi justru mereka yang merasa hidupnya sia-sia.

Bagaimana Gerakan Massa Memikat Para Pengikutnya?

Menurut Hoffer, janji akan adanya perubahan merupakan faktor penting dalam menentukan apakah orang akan bergabung dengan gerakan massa atau tidak.  Faktor ini berkaitan dengan kecenderungan orang untuk mencari penjelasan atas keberhasilan atau kegagalannya dari hal-hal di luar diri individu. Karena itu, orang yang merasa gagal cenderung merasa tidak puas terhadap lingkungan sekitarnya dan menginginkan perubahan. Sementara orang yang merasa memiliki hidup yang baik, cenderung anti perubahan (Hoffer 1988, 3–7).

Akan tetapi orang yang memiliki hidup serba kekurangan juga tidak menjamin bahwa ia akan menginginkan perubahan. Sebagian dari mereka adalah konservatif. Konservatisme ini terutama muncul akibat perasaan tidak berdaya menghadapi dunia luar. Keinginan akan perubahan baru muncul ketika mereka merasa memiliki kekuatan yang tak terbendung. Revolusi Perancis muncul karena keyakinan atas kekuatan akal dan rasionalitas dalam menentukan kehidupan ummat manusia.

Agar kekuatan ini mampu menggerakkan massa, mereka juga harus memiliki keyakinan akan masa depan. Harapan akan masa depan ini bahkan jauh lebih powerfull daripada rasa tidak puas terhadap keadaan saat ini. Keberhasilan komunisme di beberapa negara bukan terutama disebabkan oleh keahlian mereka mengobarkan rasa tidak puas, tetapi karena kelihaian mereka dalam menghidupkan harapan-harapan. Ketakutan menghadapi masa depan menyebabkan orang menolak perubahan, sementara keyakinan bahwa ada kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang, membuat orang terbuka terhadap perubahan (Hoffer 1988, 7–11).

Selain janji perubahan, keinginan mendapat pengganti juga menjadi faktor penting yang menggerakkan orang untuk bergabung dengan gerakan massa. Bagi Hoffer, gerakan massa memikat dan mempertahankan pengikut bukan karena kemampuan untuk mengembangkan diri dan kepentingan pribadi para pengikutnya, tetapi justru karena dapat memuaskan orang yang ingin membebaskan diri dari kepentingan pribadi.

Orang yang merasa hidupnya rusak dan tak dapat diperbaiki lagi, tak lagi tertarik untuk mengembangkan diri. Baginya, kepentingan pribadi adalah nista dan tak layak untuk dikejar. Sebagai ganti kepercayaan terhadap dirinya yang sudah hilang, orang merasa perlu memiliki tugas suci untuk diemban. Bila seseorang merasa bahwa urusan pribadinya tidak lagi layak untuk ditekuni, ia akan beralih mengurus orang lain. Dengan demikian, saat ia merasa sedang menolong orang lain, sesungguhnya yang ia lakukan adalah menolong dirinya sendiri (Hoffer 1988, 12–16).

Para Pengikut Fanatik Gerakan Massa

Eric Hoffer mengidentifikasi kelompok-kelompok yang potensial untuk bergabung dalam gerakan massa. Hoffer membaginya dalam 8 golongan:

1. Orang-orang yang tersingkir

Menurut Hoffer, lakon sejarah biasanya dimainkan oleh lapisan terbaik dan terburuk dalam masyarakat. Kumpulan orang-orang tersingkir seperti orang gagal, orang canggung, orang tercampak, penjahat, orang yang kehilangan atau tak memiliki tempat berpijak, tak jarang memainkan peran penting dalam perkembangan suatu bangsa. Hal ini karena orang-orang seperti ini sama sekali tam mau tahu dengan masa kini. Mereka juga ingin melarutkan diri mereka yang telah rusak dan tanpa makna ke dalam kegiatan bersama yang memesona dan menggugah jiwa (Hoffer 1988, 25–26).

2. Kaum Miskin

Orang miskin yang diidentifikasi Hoffer berpotensi bergabung dengan gerakan massa diantaranya adalah orang miskin baru. Ini terjadi karena ia baru saja mengalami perubahan signifikan dalam hidupnya, beralih dari hidup kaya dan berkecukupan, menjadi jatuh miskin dan serba kekurangan. Orang miskin seperti ini akan memiliki kekecewaan yang meluap-luap. Sementara orang yang telah lama berada dalam kondisi miskin akan semakin mengembangkan sikap apatis dalam kehidupannya. Sikap apatis yang sama juga akan ditunjukkan oleh orang-orang yang sangat miskin sehingga waktu dan pikirannya dihabiskan untuk mencari sesuap nasi. Orang seperti ini merasa cukup menjadikan aktifitas menyambung hidup sebagai tujuan mulia.

Hanya saja, Hoffer menegaskan bahwa kekecewaan yang dimiliki oleh orang akan berbeda tingkatannya. Rasa kecewa dan tidak puas akan lebih besar jika milik kita banyak dan ingin lebih banyak lagi. Sebaliknya, rasa kecewa itu kecil bila kita serba kekurangan. Rasa kecewa juga berkaitan dengan harapan, tetapi tidak semua harapan mampu menggerakkan perubahan. Harapan-harapan jangka pendek dan segera akan mendorong orang untuk mengambil tindakan, sementara harapan-harapan jangka panjang dan jauh justru membuat orang bersabar.

Kekecewaan menjadi faktor yang sangat menentukan keberhasilan suatu gerakan massa. Hoffer menegaskan bahwa berhasil tidaknya suatu gerakan massa tidak didasarkan atas kebenaran doktrin dan kemungkinan janji-janjinya terpenuhi tetapi lebih pada cekatan tidaknya gerakan itu menyerap orang-orang yang tidak puas.

Orang miskin lain yang sangat mungkin bergabung dengan gerakan massa adalah orang miskin tidak kreatif. Menurut Hoffer, kemiskinan jika dipadu dengan kreativitas biasanya tidak menimbulkan rasa kecewa dan tidak puas. Itu sebabnya, semakin menurun kreativitas seseorang makin besar kecenderungannya bergabung dengan gerakan massa (Hoffer 1988, 27–45).

3. Orang Canggung

Rasa tidak puas orang canggung sementara berbeda dengan orang canggung abadi. Orang canggung sementara adalah mereka yang belum menemukan tempat dalam hidup tetapi masih berharap dapat menemukannya. Mereka ini peka dengan ajakan gerakan sosial tetapi tidak selalu dapat menjadi pengikut yang tangguh. Sebabnya karena mereka merasa belum sepenuhnya rusak dan masih berharap untuk mendapat posisi yang baik di masyarakat. Sementara orang canggung abadi adalah mereka yang tidak memiliki bakat atau karena ada kelemahan jiwa sehingga tidak dapat melakukan hal yang paling diinginkannya. Tidak ada keberhasilan yang dapat memberinya kepuasan. Rasa haus yang mereka rasakan tidak akan hilang dan besar kemungkinan mereka akan menjadi orang paling keras dan cenderung melakukan kekerasan dalam perjuangan sucinya (Hoffer 1988, 46–48).

4. Orang Yang Mementingkan Diri Sendiri

Orang yang mementingkan diri sendiri sangat mudah merasa kecewa dan tidak puas. Itu sebabnya, orang yang paling mementingkan dirinya sendiri kemungkinan juga adalah orang yang paling gigih memperjuangkan tujuan-tujuan suci dalam gerakan massa (Hoffer 1988, 49).

5. Orang Yang Berambisi Menghadapi Peluang Tidak Terbatas

Keyakinan adanya peluang yang tidak terbatas membuat orang meremehkan masa kini. Adanya peluang tak terbatas dapat menjadi sebab rasa kecewa dan tidak puas yang menjadi pemicu orang untuk bergabung dengan gerakan massa (Hoffer 1988, 50).

6. Minoritas

Menurut Hoffer, rasa tidak puas yang timbul akibat perasaan tidak aman akan lebih kecil terjadi pada golongan minoritas yang bertekad mempertahankan ciri-ciri khasnya daripada minoritas yang cenderung bergaul dan melebur dalam golongan mayoritas(Hoffer 1988, 51–52).

7 dan 8. Orang Bosan dan Orang Berdosa

Berkembangnya kebosanan yang tidak menemukan jalan keluar dapat menjadi tanda bahwa sebuah gerakan sosial telah menemukan kematangannya. Orang berdosa juga dapat menjadi anggota dari gerakan massa. Menurut Hoffer, baik orang yang menyakiti maupun yang disakiti, orang berdosa dan yang didosai, menemukan dalam gerakan massa tempat pelarian dari kehidupan bercacat. Patriotisme berapi-api dari penyebar agama dan revolusi sering hanyalah tempat berlindung dari rasa bersalah(Hoffer 1988, 53–56).

Menimbang Gagasan Eric Hoffer

Eric Hoffer, tak diragukan lagi, adalah filosof yang memberi sumbangan penting dalam menyingkap seluk beluk gerakan massa. Hoffer berhasil menggambarkan dengan impressif bagaimana pengikut-pengikut setia gerakan massa dengan penuh keberanian mengorbankan dirinya demi cita-cita perubahan. Keberanian itu sendiri bahkan boleh jadi tidak berkaitan dengan benar-tidaknya misi suci yang diemban, karena menurut Hoffer, yang terpenting dari gerakan sosial bukan kebenaran ajarannya atau kemungkinan janji-janjinya terbukti, tetapi terutama pada kemampuannya memuncakkan harapan dan menggelorakan rasa tidak puas.

Hanya saja, terlepas dari sumbangan berharga yang diberikan Hoffer, tampaknya gagasan Hoffer tentang para pengikut gerakan massa hanya menekankan pada kemungkinan orang bermasalah menjadi pengikut setia gerakan massa dan mengabaikan kemungkinan orang-orang “baik” bergabung dengan gerakan massa. Menarik untuk diperhatikan bahwa kelompok-kelompok yang oleh Eric Hoffer diidentifikasi berpotensi dapat bergabung dalam gerakan massa tidak ada satupun kelompok yang merupakan kelompok "orang-orang baik" atau orang-orang yang tidak bermasalah, atau kelompok-kelompok yang memiliki hidup positif atau makna hidup yang positif.

Sinisme seperti ini dapat kita lihat dalam hampir keseluruhan isi buku The True Believer. Eric Hoffer secara konsisten menyebut bahwa orang yang paling potensial bergabung dalam gerakan massa adalah mereka yang memiliki masalah dengan kepercayaan diri, orang yang menganggap bahwa dirinya tidak lagi berguna. Kelompok-kelompok yang sama sebagaimana yang disebut oleh Hoffer sebagai bermasalah, seperti orang miskin, sebetulnya dalam kenyataan hidup sehari-hari dapat menjadi kelompok atau individu-individu yakin benar bahwa dirinya bermakna, bahwa dirinya penting bagi orang-orang di sekitarnya, bahwa urusan-urusan pribadinya juga penting.

Hoffer berulang kali menegaskan bahwa orang yang bergabung dengan gerakan massa didorong oleh keyakinan bahwa kepentingan diri pribadi adalah nista dan tak layak diurusi. Tentu faktor ini sangat signifikan mempengaruhi orang untuk bergabung dalam gerakan massa, tetapi sikap orang memprioritaskan kepentingan gerakan daripada pribadi tak berarti ia menganggap kepentingan pribadinya nista dan tak layak diurusi. Sikap ini lebih tepat dimaknai dalam konteks menentukan prioritas dan bukan keyakinan atas baik buruknya kepentingan pribadi.

Gagasan seperti ini mengidap klaim/pandangan sinis terhadap mereka yang terlibat dalam gerakan massa seakan mereka, seluruhnya, adalah orang-orang yang bermasalah. Membaca The True Believer Hoffer seakan membaca buku psikologi yang menjelaskan bagaimana orang-orang yang memiliki masalah kepribadian serius mencari pengalihan atau pelampiasan dengan cara bergabung dengan gerakan massa. Hoffer melupakan bahwa banyak pengikut gerakan massa adalah mereka yang sejak awal memiliki posisi penting dan terhormat di masyarakat, mereka yang memiliki hidup penuh makna.

Aksi Bela Islam 212 - Dok. Tribunnews AcehAksi Bela Islam 212 - Dok. Tribunnews Aceh

Tidak setuju dengan aksi 212 yang berlangsung di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2016 lalu itu hak, tapi tak berarti dapat dibenarkan untuk menjustifikasi dan menghakimi bahwa mereka yang turun ke jalan adalah kumpulan pribadi bermasalah dan tidak berguna. Sebagian mereka adalah orang-orang yang memiliki hidup penuh makna dalam kesehariannya (guru, tokoh masyarakat, pimpinan organisasi keagamaan, dokter dan banyak profesi bermakna lain).

Pandangan sinis Hoffer terhadap pengikut gerakan massa juga mempengaruhi gagasannya tentang sifat gerakan massa yang dapat saling dipertukarkan. Baginya, karena semua gerakan massa menarik pengikutnya dari jenis manusia yang sama (yang menganggap hidupnya tidak lagi bermakna), maka gerakan massa sesungguhnya dapat saling dipertukarkan dan juga selalu berada dalam persaingan memperebutkan pengikut. Jika satu gerakan mendapat pengikut, ini berarti kehilangan pengikut bagi gerakan lainnya (Hoffer 1988, 18).

Analisis seperti ini tak dapat menjelaskan kenapa pengikut gerakan massa seperti HTI tak dapat dibayangkan untuk bergabung dalam gerakan massa seperti gerakan-gerakan perempuan berbasis paham feminisme Barat. Analisis Hoffer hanya benar ketika basis ideologi gerakan sosial itu tidak bertentangan satu sama lain. Tetapi pada saat terjadi perbedaan basis ideologi yang sangat tajam dan bertentangan antara satu gerakan dengan gerakan lain, analisis ini akan mengalami kemandulan. Bagi Hoffer, menghentikan gerakan massa sering hanyalah persoalan menukar gerakan satu dengan gerakan lain. Dalam realitas, yang terjadi tidak sesederhana itu. Sama-sama menginginkan perubahan tak berarti dapat bertukar tempat dengan mudah sebagaimana klaim Hoffer. Ketika basis ideologi dari cita-cita perubahan itu bertentangan, betapa pun perubahan yang diinginkan adalah sama, tidak mudah untuk saling berpindah tempat. Tentu saja tak berarti kemungkinan bagi kedua jenis gerakan tersebut untuk bekerjasama sama sekali tertutup. Jika kedua gerakan dengan basis ideologi itu bersedia untuk menyesuaikan beberapa halangan ideologisnya, mungkin saja bagi keduanya untuk dapat bekerja sama, bahkan saling bertukar tempat.

Sinisme Hoffer juga terlihat jelas pada gagasannya bahwa orang miskin yang tidak kreatif lebih mungkin bergabung dengan gerakan massa daripada orang miskin yang kreatif. Hoffer seakan menegaskan bahwa gerakan massa adalah kumpulan orang-orang miskin yang tidak punya kreativitas. Dalam kenyataannya, orang-orang miskin menjadi makin tidak kreatif sering kali berbarengan dengan sikap mereka yang nrimo dengan keadaan. Dalam konteks ini, hilangnya kreativitas muncul akibat keputusasaan dalam mengubah nasib. Ia lalu memutuskan untuk sekedar menjalani rutinitas hidupnya tanpa banyak bertanya (nrimo ing pandum)

Selain sinisme seperti ini, Hoffer juga terlalu meremehkan kekuatan kelas menengah dalam gerakan sosial. Bagi Hoffer, lakon sejarah biasanya dimainkan oleh lapisan terbaik dan terburuk, melangkahi golongan mayoritas di tengah-tengah. Pandangan ini berbeda dengan apa yang disampaikan oleh James C. Davies. Baginya, revolusi justru lebih mungkin dilakukan kelas menengah daripada mereka yang berada di dasar kemiskinan. Kelas bawah yang berada di dasar kemiskinan tidak bisa diharapkan untuk dapat melawan kekuatan negara. Sebabnya amat jelas: negara memiliki kekuasaan yang jauh lebih besar daripada perlawanan yang dapat disediakan oleh kelas ini. Kelas menengah lebih mungkin melahirkan revolusi. Kondisi ini dapat terjadi saat pemenuhan harapan-harapan kelas menengah makin menjauh dengan kenyataan yang mereka temukan di lapangan.

Kelas menengah memiliki harapan paling realistis untuk menikmati kemakmuran, dibanding kelas bawah yang sejak awal berada dalam jurang kemiskinan. Ketika harapan yang sebetulnya realistis itu tidak dapat terpenuhi, bahkan makin menjauh dalam batas yang tak lagi bisa ditoleransi, kelas menengah ini akan mengalami kekecewaan yang sangat dalam. Ini dapat menjadi titik awal terjadinya revolusi (Davies 1962).

Berkaitan dengan harapan, Hoffer juga menjelaskan bahwa harapan jangka pendek dan segeralah yang menggerakkan orang untuk bertindak. Harapan juga berkaitan dengan tingkat kekecewaan. Rasa kecewa akan lebih besar jika milik kita banyak dan ingin lebih banyak lagi. Sebaliknya, rasa kecewa itu kecil bila kita serba kekurangan.

Hal berbeda dengan gagasan Hoffer ini justru terlihat dalam peristiwa perlawanan orang Samin (sedulur sikep) terhadap Pabrik Semen di Pati Jawa Tengah. Perlawanan justru dilakukan oleh orang-orang yang cenderung memiliki sikap nrimo dan tidak banyak menuntut sebagaimana karakter orang Samin pada umumnya. Apa yang kemudian membuat mereka melawan adalah harapan jangka panjang. Mereka berharap anak cucu mereka tetap dapat memanfaatkan tanah pertanian yang mereka miliki, sehingga mereka menolak keberadaan pabrik Semen yang mengancam harapan ini. Bagi mereka, tanah tidak akan habis dan dapat diwariskan kepada anak cucu, sementara jika mereka menjual tanahnya pada pabrik semen, uang hasil penjualan akan segera habis. Perlawanan orang Samin ini secara jelas digambarkan dalam video dokumentasi yang diproduksi oleh Watcdoc dengan judul SAMIN vs SEMEN (Watchdoc Image 2015).

Pandangan seperti ini juga terlihat jelas saat Hoffer membuat pernyataan bahwa yang membuat pengikut Muhammad mengangkat pedang adalah harta jarahan yang tampak di depan mata (Hoffer 1988, 31). Menyederhanakan peperangan yang dilakukan oleh Muhammad dan pengikutnya sebagai sekedar urusan harta jarahan jelas bukan analisis yang memadai. Motif mendapatkan harta jarahan cukup masuk akal untuk menjelaskan tentang perampokan tapi tidak cukup masuk akal untuk bisa menjelaskan tentang peperangan. Amat jelas bahwa ada motif lain yang lebih besar daripada harta jarahan yang kemudian membuat mereka melakukan perlawanan dalam bentuk peperangan. Motif itu dapat berupa politik, agama, ideologi, atau ekonomi secara lebih luas. Penyederhanaan motif gerakan sosial menjadi sekedar persoalan harta benda membuat orang terperanjat bahwa ternyata ada teror yang dilakukan justru oleh kalangan yang sudah mapan dan bukan oleh orang-orang miskin seperti yang terjadi dalam aksi teror Surabaya.

Hoffer lalu mencoba untuk mencari justifikasi dari pandangannya yang berlebih-lebihan terhadap hampir semua hal dalam bukunya dengan menyatakan bahwa itu semua ia lakukan dalam rangka menanamkan atau menggambarkan suatu asas. Demi membantu menunjukkan jalan menuju pendekatan baru maka ia tidak segan mengemukakan hal-hal yang masih separuh benar atau belum terbukti benar (Hoffer 1988, 61).

Sebetulnya cara seperti ini dapat dibenarkan karena realitas sosial itu terlalu kompleks untuk dijelaskan hanya melalui seperangkat teori. Teori apa pun akan mencoba untuk mengeneralisasi atau melebih-lebihkan fenomena yang dianggap dominan dan menyingkirkan hal-hal yang dianggap tidak dominan. Bagi Weber, melalui konsepnya tentang tipe ideal, hal semacam ini dapat dibenarkan karena sebuah teori sosial atau sebuah tipe ideal tidak mungkin tercipta dengan menggambarkan seluruh kompleksitasnya. Demi membantu pemahaman maka kompleksitas itu harus dikorbankan (Ritzer 2010, 120).

Tetapi problemnya adalah memilih fenomena-fenomena yang dianggap dominan atau gejala-gejala yang dianggap dominan itu bukan perkara mudah. Ada banyak hal yang boleh jadi akan berpengaruh terhadap pilihan seorang peneliti atau pemikir tentang fenomena-fenomena yang dianggap dominan dan kemudian menyingkirkan sesuatu yang dianggap tidak dominan. Metode seperti ini akan sangat dipengaruhi oleh preferensi pribadi peneliti, muatan-muatan ideologis peneliti, kepentingan-kepentingan Peneliti termasuk background kulturnya. Sehingga apa yang oleh peneliti dianggap tidak penting lalu kemudian disingkirkan di dalam proses membangun teorinya boleh di dalam masyarakat lain sangat penting dan menentukan karakteristik sebuah fenomena sosial.

Hoffer, misalnya, menggunakan kata "perilaku pura-pura" untuk menggambarkan keyakinan atau kesediaan untuk berkorban. Baginya, situasi "panggung" di mana akan ada banyak penonton dan bayangan akan ketenaran membuat orang berani dan rela untuk berkorban. Ini menunjukkan bahwa, baginya, motif untuk dikenang, motif terhadap ketenaran itu jauh lebih powerfull dari pada keyakinan-keyakinan suci dan transendental, dalam menggerakkan orang untuk secara suka rela berkorban (Hoffer 1988, 67). Penekanan sepihak seperti ini jelas mengabaikan dimensi lain, seperti keyakinan akan tugas suci atau janji surga, yang dalam banyak peristiwa terorisme di Indonesia justru lebih menonjol.

Tampaknya bagi Hoffer, struktur bersifat determinan terhadap kesadaran individu. Hoffer tak memberikan ruang sedikitpun bagi individu yang sadar untuk menjadi bagian dari gerakan sosial. Singkatnya, bagi Hoffer, para pengikut gerakan sosial adalah sekumpulan makhluk dungu yang tak lagi memiliki kesadaran diri.

Walaupun tulisan ini terutama dimaksudkan untuk mengkritisi gagasan Eric Hoffer, tetapi tentu saja bukan untuk mengecilkan sumbangannya pada teori-teori tentang gerakan sosial. Hoffer memiliki pandangan yang sangat orisinil tentang ini. Buku The True Believer sendiri termasuk buku fenomenal yang sangat banyak diapresiasi para akademisi.

Sebetulnya, letak keberatan utama saya terhadap Eric Hoffer bukan semua hal yang ia tuliskan. Banyak hal dalam realitas yang akan kita temukan kesesuaiannya dengan gagasan Hoffer. Hanya saja, kenyataan bahwa Hoffer terlalu berat sebelah dalam menjelaskan para pihak yang potensial bergabung dengan gerakan massa dan berbagai alasan yang menyertainya membuat Hoffer mengabaikan adanya kemungkinan-kemungkinan sebaliknya.

 

REFERENSI

Barkan, Steven E. 2016. Sociology: Understanding and Changing the Social World. Kindle Book. 01 ed. University of Minnesota Libraries Publishing. http://open.lib.umn.edu/sociology/.

Davies, James C. 1962. “Toward a Theory of Revolution.” American Sociological Review 27 (1): 5. https://doi.org/10.2307/2089714.

Hoffer, Eric. 1988. Gerakan massa. Diterjemahkan oleh Masri Maris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Macionis, John J. 2008. Sociology. 12 ed. New Jersey: Pearson Education International.

Microsoft. 2005. “Change.” Microsoft Encarta Encyclopedia 2005 CD-Rom Edition. Microsoft.

Ritzer, George. 2010. Sociological Theory. New York: McGraw-Hill.

Watchdoc Image. 2015. SAMIN vs SEMEN (full movie ). https://www.youtube.com/watch?v=1fJuJ28WZ_Q.


DISCLAIMER

  1. Penulis bertanggung jawab penuh atas tulisan (termasuk gambar atau konten lain) yang dikirim dan dipublikasikan di Rumah Sosiologi, kecuali bagian-bagian yang dirubah atau ditambahkan oleh redaksi.
  2. Jika ada pihak yang keberatan dengan konten tulisan (baik berupa teks, gambar atau video) karena berbagai alasan (misalnya, pelanggaran hak cipta, pencemaran nama baik, atau hal lain yang melanggar hukum), silahkan menghubungi kami melalui email rumahsos.id[at]gmail[dot]com.
  3. Lebih lengkapnya, silahkan baca halaman DISCLAIMER

Tentang Kami

Rumah Sosiologi adalah komunitas independen tempat nongkrong para pecinta sosiologi seluruh Indonesia. Jangan lupa follow akun kami untuk mendapat update terbaru:

Ingin berkontribusi?

Hobby nulis? Punya info menarik soal jurnal, ebook, atau apapun yang berkaitan dengan sosiologi? Share donk di sini, daripada ditimbun, ntar basi :D. Baca CARA & PEDOMAN MENULIS.

Cari Artikel di Sini